Brand & Branding: Pertama Kali Jatuh Cinta dengan Mereka
Nggak bisa dipungkiri, sekarang kita hidup di zaman dimana
informasi, ilmu pengetahuan, berita bisa kita akses dengan sangat mudahnya.
Dunia digital, media sosial, pun mempersilahkan kita untuk bebas
mengekspresikan siapa kita, ilmu apa yang kita punya, pendapat kita, dll. Minimnya kesempatan untuk berbicara di zaman dahulu, kini dipermudah dengan
sentuhan jari ditambah balutan kreativitas untuk dapat menarik perhatian orang
lain. The good things are, makin banyak orang terpacu untuk membangun sendiri
bisnis maupun produk dan makin banyak pula yang percaya diri untuk menjadi
public figure. Tentu saja, karena mereka memiliki kemudahan untuk mempromosikan bisnis atau dirinya melalui
media yang mereka miliki sendiri yaitu Social Media.
Tren baru muncul: Brand, Branding, Personal Brand. Kita
semua sekarang berlomba-lomba untuk mempercantik tampilan kita maupun produk
kita di social media, baik dari foto; video; maupun pilihan kata caption. Kita
semua percaya, kalau konten foto, video, maupun ucapan kita bagus dan menarik pasti
akan menaikkan popularitas kita dan otomatis brand kita akan memiliki citra
yang baik.
Brand, branding, personal brand, pun tak hanya menjadi tren
tetapi menjadi industri baru yang banyak sekali orang bermain di dalamnya. Dulu
kesempatan bermain di industri ini hanya untuk para pemain media Above The Line
atau Below The Line konvensional saja. Tapi sekarang, untuk mempercantik
tampilan kita maupun produk bisnis kita, akhirnya muncul banyak desainer untuk
membuat logo, fotografer untuk mempercantik produk maupun diri, copywriter
untuk membuat slogan atau caption yang catchy, pemasang iklan untuk beriklan di
media sosial, strategist untuk memasarkan produk di media sosial, dan video
untuk memberi sentuhan riil produk. Makin ke sini, sering sekali saya mendengar
di media sosial maupun di seminar bahwa brand, branding, personal brand is
about social media, logo, desain promosi, packaging, advertising, images,
copywrite / caption, tagline, photo / video content. Tapi apakah memang iya itu
artinya brand?
Well, saya tidak akan klaim diri saya bahwa saya adalah
brand thinker, brand strategist, brand consultant, atau orang yang paling paham
tentang brand. Tidak. Tapi sejak saya duduk di bangku kelas 6 SD di tahun 2002, dunia brand & branding sudah membuat saya jatuh cinta padanya dan membuat
saya penasaran untuk terus menjelajahinya lebih dalam. Kok bisa? How did I
start to know to this industry meanwhile belum ada social media saat itu?
Menelusuri kembali ke masa lalu, saya ingat betul awal mula
saya berkenalan dengan dunia brand & branding, yang membuat saya akhirnya memantapkan
diri untuk memiliki masa depan dengan berkreasi di industri ini. Saya ingat betul pada saat itu saya sedang duduk di bangku tengah mobil Bapak Ibu saya. Menatap keluar jendela mobil. Pandangan saya tertuju pada sebuah truk. Bukan truk biasa. Truk trailer yang mengeluarkan dentuman suara keras. Iya! Ada pemain band atau penyanyi -saya lupa- yang berdiri di atas truk trailer dan berkeliling kota. "Keren banget!" Pikir anak kelas 6 SD itu. Kalau kalian adalah generasi yang sama dengan saya, pasti kalian ingat konser musik bergengsi pada jamannya. Betul! Soundrenaline. Yang ternyata, adalah brand activation dari merk rokok besar Indonesia.
Lulus SD, saya
bersekolah di salah satu SMP bergengsi di Semarang. SMP saya pun dilabeli masyarakat
sebagai sekolahnya anak orang-orang kaya Semarang. Karena saya bukan termasuk
dari kalangan orang yang diberi label tersebut, makanya saya sering sekali
mengamati perilaku dan kebiasaan teman-teman saya, detail banget sampai pada
merek apa yang menempel di sekujur tubuh mereka.
Dulu orang tua saya mengajari saya untuk hidup sederhana.
Memakai produk yang biasa saja, tak perlu mahal bermerek asalkan awet. Dari SD
bapak ibu saya selalu membelikan saya sepatu bermerek Bata. Mungkin karena
masih kecil, jadi saya ya tinggal terima pakai saja. Tetapi pada saat SMP, saya
menemukan sebuah tren dimana hampir semua anak perempuan di SMP saya mengenakan
sepatu dengan merek yang sama. Bahkan mereka nggak malu kalaupun model
sepatunya dipakai oleh banyak orang di sekolah (karena kalau sekarang kan kita
pasti gengsi banget kalau berpapasan dengan orang yang pakai model pakaian yang
sama persis dengan kita, ya nggak?) Lalu, apa sih merek sepatunya?
Gosh! Yup! Kalian pasti nggak asing kan dengan merek sepatu
ini? Saya amati betul bagaimana percaya dirinya anak-anak perempuan di SMP saya
mengenakan sepatu Gosh. Memang nggak ada raut muka kesombongan yang terpancar
dari mimik mereka, tapi ketika mengenakan sepatu Gosh seperti ada kebanggaan
dan rasa percaya diri bahwa mereka menjadi bagian dari sebuah tren dan menjadi
bagian dari sebuah kelas sosial ekonomi tertentu. Bangga dan percaya diri
karena memakai sepatu yang merek nya sounds catchy kebarat-baratan dan desain
atau modelnya pun girlie cocok untuk anak ABG.
Karena SMP saya jaraknya dekat sekali dengan satu-satunya mall
di Semarang pada saat itu, saya pun akhirnya cari tahu tentang sepatu Gosh di storenya, dan
mulai mempelajari berbagai toko bermerek lainnya yang ada di mall tersebut,
sembari jalan & nongkrong bareng temen-temen.
Tepat sesuai dugaan, bapak ibu saya nggak mau membelikan saya sepatu Gosh karena harganya yang naudzubillah pada saat itu :D Harga sepatu hitam Gosh paling
murah pada tahun 2003 aja Rp.199.000,- atau Rp.299.000,-!!! (agak lupa saya). Buat
saya pun jelas harga itu mahal banget! Uang jajan seminggu aja waktu itu cuma
10ribu, kalau lagi sering ke mall ya jelas minta tambahan uang jajan buat beli
ice cream cone McD atau makan di Es Teler 77 :p Tetapi karena rasa penasaran
saya yang amat tinggi dengan sepatu ini, “kok bisa sih anak-anak mau beli
sepatu yang mahal ini?” saya pun bertekad untuk bisa membeli nya dengan uang
saya sendiri. Akhirnya sedikit demi sedikit saya menyisihkan uang jajan selama
setahun dan yeay saya pun bisa membeli sepatu Gosh!
Saya pun membeli sepatu hitam termurahnya Gosh, yang jelas
banyak anak perempuan di SMP saya yang juga memakai model yang sama. “Senyaman
apa sih sepatunya?” “Secakep apa sih modelnya kalau dipake?” dan
pertanyaan-pertanyaan lainnya akhirnya pun terjawab. Well, bukan bermaksud
untuk menjelek-jelekkan Gosh, mungkin ya karena saya beli sepatu yang paling
murah (ada harga ada barang, bro!). Memangnya gimana kesan pertama saya pakai sepatu Gosh?
“Tipis banget solnya! Dibuat jalan aja ampe kerasa aspalnya!”
"Duh sakit banget kalo dipake jalan lama-lama!"
Betul-betul di luar bayangan saya. Tapi karena udah terlanjur beli pakai uang sendiri dan pake debat sama orangtua, saya tahan-tahanin deh pakai sepatu yang super pegel nggak bisa dipake buat jalan cepet ini (karena saya anaknya superaktif :D) buat meyakinkan orangtua kalau sepatu mahal ini nyaman bin awet.
Long story short, sambil menahan kesakitan memakai sepatu
Gosh sampai lulus SMP, saya pun mengamati betul perubahan emotional feeling
atau perasaan saya ketika memakai sepatu Gosh –juga teman2 saya. Ternyata ada emotional feeling yang berbeda ketika saya memakai sepatu Bata dan Gosh. Di umur saya
yang masih 11 tahun, saya mengambil kesimpulan sementara bahwa sebenernya yang
saya dan teman-teman lakukan ini sebenernya kami tidak membeli sebuah sepatu.
Well, sepatu hanyalah fungsional produknya saja. Tetapi, yang kami beli sebenernya
adalah sebuah merek, sebuah brand, sebuah persepsi. Persepsi yang timbul ketika
kita sudah merasakan experience, bersentuhan dan berinteraksi langsung dengan sebuah brand yang akhirnya
menyentuh emotional feeling kita. Persepsi betapa bangganya kita membeli dan memakai sebuah
merek, betapa sebuah merek memberikan kita rasa percaya diri untuk memakainya
karena dengan memakai merek tersebut kita menjadi bagian dari sebuah tren; sebuah
“coolness”; dan sebuah strata sosial ekonomi tertentu.
Sejak saat itulah, saya betul-betul merasa WOW dengan
bagaimana sebuah merek atau brand bekerja dalam membangun persepsi ke target
customernya. Dan sejak SMP itulah saya belajar terus tentang brand secara otodidak
(dimana saat itu hampir nggak ada bacaan-bacaan atau seminar tentang brand). Mulai
dari sering ngamatin iklan di TV; radio; billboard; logo-logo brand; event,
desain poster, dll, dan sampai sekarang pun saya masih haus untuk terus belajar
industri ini (beruntunglah karena topik ini sekarang sudah menjamur dimana-mana).
Karena Gosh pun saya jadi seneng banget mengamati desain-desain sepatu dan mengukur kenyamanan sol sepatu. Sampe sekarang.
Penggagas Soundrenaline yang juga Brand Manager dari merk rokok tersebut pun adalah bos saya ketika saya bekerja di brand consultant & agency beliau di Jakarta selama hampir 3 tahun. Nggak menyangka juga skenario Tuhan membawa saya untuk bertemu beliau 9 tahun setelah saya melihat produk kreativitasnya yang melegenda.
ps: sayang banget nggak nemu di google sepatu Gosh yang saya beli tahun 2003 lalu :" but if you're in the same generation with me, you must know the most iconic Gosh' shoes design at that time, kurang lebih modelnya sama seperti gambar di atas tapi warnanya hitam :D (image credit: www.inkuiri.com)
Comments
Post a Comment