Kampung Lali Gadget: Paket Komplit untuk Anak Bergembira Bermain bersama Orang Tua, Menuntaskan Tugas Tumbuh Kembang, dan Mencintai Indonesia.

Dok. pribadi. Suamiku sedang mengajari anakku bermain egrang


“Hompimpah Alaihom Gambreng!” 


“Cublak-cublak suweng, suwenge ting gelintir,
Mambu ketundhung gudel,
Pak Empo lera-lere sopo ngguyu ndhelikake.
Sir-sir pong dele kopong, sir-sir pong dele kopoong”


Mungkin tembang-tembang seperti itu sudah sangat jarang terdengar di pojok-pojok kampung dan perumahan. Namun, lain cerita di Kampung Lali Gadget yang terletak di Dusun Bendet, Desa Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Tembang-tembang permainan itu sudah biasa terdengar setiap kali ada kegiatan bermain di Kampung Lali Gadget atau biasa disebut KLG. Di sana, tidak akan kita jumpai anak-anak yang menunduk serius dan senam jempol di handphone tanpa menghiraukan sekitarnya. Pemandangan yang aneh? Atau malah itu sesuatu yang keren? 


Oktober 2022. Pertama kali aku datang ke KLG bersama suami dan anakku yang kala itu masih berumur 3 tahun. Aku kembali melantunkan “hompimpah alaihom gambreng”, bermain cublak-cublak suweng, jamuran, dan dolanan tembang lainnya. Rasa lelah menjadi orang dewasa pun hilang seketika karena pikiran terbang membawa ingatan bahwa dulu aku pernah bahagia menjadi anak-anak. Istilah kerennya sekarang “healing” atau menyenangkan si “innerchild.”


Hari itu, hari Minggu. Sudah menjadi rutinitas KLG mengadakan acara bermain bersama bagi siapa saja yang datang. Anak-anak, orang tua, remaja, dewasa, melebur bergembira di Pendopo Balai Among KLG. Di hari itu pula, untuk pertama kalinya aku tahu bahwa “Dari Tuhan kembali ke Tuhan, ayo kita bermain!” adalah arti dari “Hompimpah Alaihom Gambreng!” (Hayo, siapa di antara kalian yang baru tahu juga?) Achmad Irfandi, pendiri Kampung Lali Gadget, menjelaskannya kepada para peserta yang ikut bermain hari itu.


“Kalau ingin dimaknai filosofinya lebih dalam, bermain itu tidak serta-merta diartikan anak-anak bermain, tetapi bagi orang dewasa bermain itu ya bekerja. Orang dewasa bekerja dengan memainkan perannya. Jadi, sebelum kita kembali ke Tuhan, kita harus berinteraksi dan berkontribusi untuk orang lain,” lanjutnya.



Dimulai dari Keresahan Melihat Fenomena Generasi Menunduk


Dok. Pribadi. Anak-anak bersama orang tuanya bermain cublak-cublak suweng


Setelah selesai bermain cublak-cublak suweng dan jamuran, aku berkesempatan ngobrol dengan Achmad Irfandi atau akrab disapa Irfandi. Pemuda 30 tahun ini ternyata sudah sejak 2018 mengajak lebih dari 10.000 anak untuk bermain permainan masa kecil kita dulu.


“Kenapa dulu mendirikan Kampung Lali Gadget?” tanyaku. 


“Ya berawal dari keresahan. Dulu saya lihat banyak anak-anak sini, bahkan SD, yang ke warkop cari WiFi untuk mabar. Nah, seiring semakin intensnya mereka memegang gadget, kok berubah akhlak atau karakternya. Jadi nggak kenal waktu, nggak pernah interaksi, berani melawan orang tua dan meniru apa yang ada di YouTube. Anak-anak sekarang juga banyak yang tidak mengenal budaya dan permainan kita jaman dulu. Akhirnya saya bikin KLG sebagai cara yang menyenangkan bagi anak-anak untuk mengenal budaya dan mencintai Indonesia,” jawabnya.


Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2022 ada 33,44% anak usia dini berusia 0-6 tahun di Indonesia yang sudah piawai menggunakan ponsel, dan 24,96% diantaranya sudah mampu mengakses internet. Dari databoks.katadata.co.id, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, 88,99% nya anak usia dini menggunakan ponsel untuk mengakses media sosial. 


Melihat data tersebut, sebagai seorang Ibu yang mempunyai anak usia dini, aku merasa relate dan bisa memahami keresahan Irfandi. Aku pun masih berpegang teguh untuk tidak memberikan anakku smartphone dan TV sama sekali, karena aku meyakini tugas utama anak-anak adalah bermain di dunia nyata.


“Selama 5 tahun ini, saya melihat sendiri kok, anak-anak itu bukannya tidak suka atau bosan dengan permainan tradisional karena dianggap jadul, nggak keren, nggak up to date. Mereka seneng banget kok karena mereka kembali ke fitrah mereka untuk bergerak, bermain, dan berinteraksi dengan manusia riil. Itu semua kan yang mereka butuhkan untuk tumbuh kembangnya. Mereka bukannya lupa atau tidak suka, tapi mereka nggak tahu dan nggak dikenalkan oleh generasi kita ini,” tambah Irfandi.



SATU Indonesia Awards Nafas untuk Anak Muda Terus Berinovasi


Setelah ngobrol-ngobrol, aku melihat-lihat dinding gebyok Pendopo Balai Among KLG yang penuh pigura foto dan sertifikat. Langkahku terhenti ketika melihat piagam SATU Indonesia Awards 2021. Sebagai seseorang yang pernah 6 bulan magang di kantor pusat PT Astra International, Tbk. pada 2013 dulu, aku merasa relate dengan piagam tersebut.


“Loh, sampean menang SATU Indonesia Awardsnya Astra?” tanyaku.

“Iya, Mbak”

“Wah, keren banget!!”


“Sebagai sebuah movement, nafas kalian kuat loh bisa sustain sampai 5 tahun. Kenapa kok masih ingin terus melanjutkan KLG?” tanyaku.


“Ya karena melihat wajah anak-anak yang benar-benar memancarkan kegembiraan saat bermain di sini. Anak-anak jadi punya tempat dan pilihan bermain untuk memenuhi kebutuhan perkembangannya. Bertahap saya juga melihat perubahan-perubahan di mereka. Ada yang awalnya jijik-an jadi berani main di tanah lumpur. Ada yang problem solvingnya luar biasa mengagumkan karena selalu main di luar menghadapi masalah-masalah yang sering kita anggap sepele. Ada yang perkembangan bahasanya dahsyat karena sering bersosialisasi dan kebutuhan sensorinya terpenuhi di sini,” jawabnya.


Nggak hanya anak-anaknya saja. Kami juga mengajak orang tua untuk bermain bersama anak-anaknya dan nggak hanya sekadar jadi cameraman mendokumentasikan anak-anaknya. Kami senang melihat bonding orang tua dan anak pun makin terjalin. Orang tua jadi nggak bingung mau main apa lagi bareng anaknya kalau di sini,” lanjutnya.


“Kami juga masih bisa bertahan karena ada dukungan dan apresiasi dari SATU Indonesia Awards Astra. Kami jadi bisa terus berjalan, berprogress, dan kegiatan-kegiatan organik seperti ini nggak putus sebatas seremonial di awal saja. Semoga bisa berkembang biak di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia,” tambahnya.



Kampung Lali Gadget Mengembalikan Alam Belajarnya Anak


Dok. Pribadi, anak Ibu Rahma yang menangkap lele di kolam lumpur KLG

Pada kesempatan lain waktu bermain ke KLG, aku bertemu Ibu Retieka Rahma, salah seorang Ibu yang menemani kedua anaknya bermain di program liburan di KLG selama dua minggu penuh. “Anak saya yang kedua kan nggak pernah saya minta hafalkan alfabet, Mbak. Sekarang umurnya 6 tahun. Nah kemaren tuh tiba-tiba dia bisa baca terbata-bata ‘Al-fa-mart’. Memang bener ya, kalau kebutuhan bermain anak terpenuhi, nanti tiba-tiba mereka bisa baca tulis hitung sendiri. Kita cukup ngenalin aja,” kata Bu Rahma.


“Dua minggu main di KLG, akhirnya saya pensiun nyuapin anak saya yang nomor dua ini. Karena di sini juga diajarkan bermain keterampilan hidup sehari-hari kan, ya nangkep lele di kolam lumpur, ngiris bawang, tempe, goreng lele dan telur dadar. Pokoknya kalau anak menyiapkan sendiri makanannya, mereka akan siap dan fokus untuk makan sendiri,” tambah Bu Rahma makin berbinar-binar.


Irfandi juga pernah bercerita bahwa ada anak usia 9 tahun yang mengikuti program kelas bermain reguler di KLG selama sekitar 3 bulan. Anak tersebut di-”sekolah”-kan di KLG karena semasa balitanya mengalami kecanduan gadget hingga tidak bisa lepas bahkan sampai berobat ke dokter karena matanya memerah dan kering. “Ibu itu ingin menjaga anaknya agar tidak sampai kecanduan gadget lagi dengan bermain di sini. Anaknya senang sekali karena akhirnya bisa merasakan bermain dan berinteraksi yang sesungguhnya di sini,” ujarnya.


Aku rasa KLG banyak membuktikan hasil studi yang banyak kubaca selama ini. Bahwa bermain tidak hanya sekadar aktivitas yang menghibur, tetapi bermain adalah cara yang maha dahsyat untuk anak belajar dan berkembang. Dalam kegiatan bermain yang bertujuan, orang dewasa yang aktif terlibat bermain bersama anak dapat menggunakan aktivitas bermain untuk mengajarkan konsep dan kemampuan atau keterampilan tertentu (Bredekamp & Copple, 2014).


Dalam perkembangan kognitif, anak akan mampu mengenal dan memanipulasi bunyi-bunyian dalam bahasa, serta mengembangkan pengetahuan yang tertulis di media cetak dan kegunaannya (Christie & Roscos, 2013). Lebih lanjut, Christie & Roscos (2013) menjelaskan bermain juga mampu meningkatkan keterampilan sosial dan kognitif termasuk pemecahan masalah, berpikir kritis, dan kreativitas.


Inovasi sosial semacam ini bagus banget ya, dan memang harus terus hidup. Aku yakin kalau tidak ada gerakan semacam KLG ini, para orang tua pun pasti sudah sangat jarang yang bisa  mengenalkan permainan-permainan semasa kecilnya dulu ke anak-anaknya. 


Irfandi punya harapan, anak-anak Indonesia nanti tidak akan terdikte oleh teknologi, bisa bijak dan mengimbangi penggunaan gadget dengan bermain di luar dengan teman-temannya agar mereka mengenali dirinya sendiri dan menjadi manusia Indonesia seutuhnya. 


Bagi kami yang di area sekitar rumah tidak ada playground untuk anak-anak, alam yang sudah ditutup oleh beton, semen, paving, dan aspal, KLG adalah berkah. KLG sudah menjadi tempat bagi anakku untuk kembali bebas mengeksplorasi semua hal yang ada di alam dan memang Tuhan ciptakan untuk anak-anak bertumbuh dan berkembang. Sungguh Tuhan Maha Baik ya dan aku rasa kita perlu terus mendukung KLG dalam mengembalikan alam belajarnya anak-anak untuk membentuk skills yang mereka butuhkan saat dewasa nanti.


Aku sangat merekomendasikan para orang tua untuk datang bermain bersama anak-anak di KLG. Aku merasa KLG ini paket komplit di mana anak dan orang tua akan mendapatkan semua yang benar-benar mereka butuhkan. Ya bermain, belajar keterampilan hidup sehari-hari dari hal konkret, belajar budaya, mempererat bonding bersama orang tua, dan mencintai Indonesia dengan gembira. Untuk mendaftar bermain di KLG, bisa langsung kunjungi Instagramnya di @kampunglaligadget. 


Dok. Pribadi. Kegembiraan anak-anak menangkap lele di kolam lumpur KLG

Dok. Pribadi. Kegembiraan anak-anak bermain lumpur di alam raya KLG

Dok. Pribadi. Kegembiraan anak-anak bermain lumpur di KLG

Dok. Pribadi. Kegembiraan anak-anak mandi lumpur di KLG

Dok. Pribadi. Anakku pertama kalinya berkenalan dengan wayang



Comments

Popular posts from this blog

Brand & Branding: Pertama Kali Jatuh Cinta dengan Mereka

Setelah PCOS, 2 Garis itu Akhirnya Muncul!